PALI | Superejatv.com – Dengan akan diadakanya pesta demokrasi yang akan di selenggarakan pada Februari 2024 mendatang, Adv. Puput Warsono, S.H yang merupakan Praktisi Hukum, Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH NU) Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), dan sekaligus Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Kongres Advokat Indonesia (KAI) Kabupaten PALI saat di sambangi Superejatv.com di Kediamannya di Desa Sukamaju Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten PALI Provinsi Sumatera Selatan. Rabu (10/05/23).
Adv Puput Warsono, SH mengatakan Waspada!!! Dengan akan diadakanya pesta demokrasi yang akan di selenggarakan pada Februari 2024 mendatang, para calon Kepala Daerah atau Anggota Legislatif mengumbar banyak janji kepada Masyarakat, ujar Puput.
“Tidak jarang juga sebagian dari mereka menebar amplop berisikan uang atau bingkisan sembako. Secara sadar mereka telah melakukan politik uang, sebuah praktik koruptif yang akan menuntun ke berbagai jenis korupsi lainnya,” ungkapnya.
Masih dikatakan Puput Warsono, Politik uang (money politic) adalah sebuah upaya memengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya. Dari pemahaman tersebut, politik uang adalah salah satu bentuk suap, jelasnya.
Lebih lanjut Puput mengutarakan Praktik ini akhirnya memunculkan para pemimpin yang hanya peduli kepentingan pribadi dan golongan, bukan masyarakat yang memilihnya. Dia merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatannya, salah satunya untuk mengembalikan modal yang keluar dalam kampanye, bebernya.
Selanjutnya Adv. Puput Warsono, S.H. yang kerap di panggil Putra ini mengatakan “setelah menjabat, dia akan melakukan berbagai kecurangan, menerima suap, gratifikasi atau korupsi lainnya dengan berbagai macam bentuk. Tidak heran jika politik uang disebut sebagai “mother of corruption” atau induknya korupsi,” terangnya.
Menurut putra Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, mengatakan politik uang telah menyebabkan politik berbiaya mahal. Selain untuk jual beli suara (vote buying), para kandidat juga harus membayar mahar politik kepada partai dengan nominal fantastis.
“Tentu saja, itu bukan hanya dari uangnya pribadi, melainkan donasi dari berbagai pihak yang mengharapkan timbal balik jika akhirnya dia terpilih. Perilaku ini biasa disebut investive corruption, atau investasi untuk korupsi,” ujar Putra.
Dijelaskan Putra, “Dalam UU No. 10 tahun 2016 pasal mengatur tentang politik uang tereletak pada pasal 187 ayat 1 dan 2. Di mana ancamannya cukup berat, pemberi dan penerima money politik diancam penjara minimal, paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan. Artinya jika ada kasus money politik atau politik uang, baik itu temuan maupun laporan masyarakat yang ditangani BAWASLU dan terbukti pada sidang. Pemberi dan penerima dipenjara minimal 36 bulan atau 3 tahun. Buka hanya kurungan penjara, dendanya juga disebut minimal Rp. 200 juta hingga satu milyar rupiah,” Jelasnya.
meskipun pada dasarnya undang undang tentang pilkada ini telah dibuat dan mempunyai tujuan pencegahan yg sangat baik, namun dalam pemberlakuan juga dibutuhkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaanya, ungkapnya Putra.
Putra berharap, “Aturan aturan untuk semacam UU no 10 tahun 2016 ini dibuat sudah baik untuk pilkada, namun ada hal yang tidak kalah penting harus difikirkan tentan “money politic ” / politik uang di tingkat yang paling bawah seperti Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).
Kedepannya putra mengharapkan para pemangku kepentingan di Negri ini dapat membuat UU yang berkaitan tentang money politik di tingkat Pilkades,” Harapnya.
Masih dikatakan Putra Karena perlu diketahui dan disadari untuk menciptakan pemimpin yang baik dan berkualitas di tingkat Kepala Daerah, legislatif dan Kepala Desa dibutuhkan Visi, Misi dan bukan mengandalkan materi. Dan tak kalah penting. Pilihlah pemimpin yang mempunyai akhlaq baik, pungkasnya.(Snt)