Menyibak Tabir Tiga Kecerdasan Manusia, Kultum KH Taufik Hidayat

Kamis, 6 Maret 2025. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Muaraenim menggelar Buka Bersama di Hotel Melio Muaraenim. Kali itu Pendiri dan Pimpinan Pondok Pesantren Laa Roiba Muaraenim, KH Taufik Hidayat, S.Ag, M.I.Kom, diundang untuk menyampaikan Kultum Jelang Berbuka Puasa. Berikut intisari Kultum, ditulis untuk Anda :

———————————————

Setiap kita, dipastikan pernah mendengar kata kecerdasan. Biasanya, kecerdasan selalu diidentikan dengan prestasi siswa di sekolah, mahasiswa di perguruan tinggi.

Atau tidak jarang juga dipadupadankan pada perilaku seseorang, yang dinilai oleh sebagian pihak dianggap bisa menyelesaikan masalah tertentu. Sehingga diantara kita menyebutnya : itu orang cerdas.

Namun dari kebanyakan kita, menempatkan kecerdasan selalu saja berkaitan dengan material, atau sesuatu yang sifatnya kasat mata (bisa dilihat mata dlohir). Meskipun hal itu tidak sepenuhnya salah, namun kecerdasan tidak serta merta hanya diukur dengan hal material dan angka-angka (visual).

Oleh sebab itu, bisa kita sebut, kecerdasan maknanya lebih luas dari sekadar kepintaran akademik, dan setiap individu memiliki jenis kecerdasan yang berbeda.

menyelesaikan masalah dengan nalar

Paling tidak ada 8 kecerdasan yang pernah ditulis oleh Horward Gardner. Tetapi pada tulisan ini hanya akan mengedepankan tiga diantaranya, yang sangat akrab dengan kehidupan keseharian, yaitu : kecerdasan intelektual (IQ), emosional (EQ) dan spiritual (SQ).

Kecerdasan intelektual, atau dikenal IQ (intelligent quotient). IQ ini menjawab segala sesuatu yang sedang menjadi pertanyaan manusia dalam akal pikirannya. Misalnya : apa yang saat ini sedang saya pikirkan? Kecerdasan intelektual ini sifatnya lurus (linier) dan hitung-hitungan.

Ilsutrasi : Wisuda Mahasiswa (Chatgbt)
Ilsutrasi : Wisuda Mahasiswa (Chatgbt)

Dengan kata lain, seseorang yang mengedepankan IQ-nya, berarti orang tersebut cenderung menyelesaikan masalahnya dengan nalar atau logika. IQ sifatnya sangat matematis. IQ dalam kehidupan keseharian tidak jarang mewakili kemampuan seseorang dalam pemrosesan visual dan spasial, pengetahuan tentang dunia, serta kekuatan ingatan.

Pemrosesan visual-spasial, dalam sejumlah literatur disebutkan sebagai bentuk kemampuan seseorang untuk mengetahui sasaran posisi (obyek) dalam sebuah tempat, termasuk untuk mengetahui bagian tubuh kita sendiri. Ini juga melibatkan kemampuan untuk mengetahui seberapa jauh objek dari kita dan dari satu dan sama lain.

memproses informasi

Makna visual-spasial merujuk pada kemampuan seseorang dalam memahami, mengingat, dan memproses informasi dalam bentuk gambar, pola, atau hubungan antara objek dalam ruang. Kemampuan ini berkaitan dengan cara seseorang melihat, mengorganisasi, dan memanipulasi objek di dalam pikirannya.

Kemampuan Visual-Spasial, bisa dicontohkan ; Pertama; Membayangkan bentuk dalam pikiran – Misalnya, seseorang dapat membayangkan bagaimana suatu objek akan terlihat jika diputar atau diubah bentuknya. Kedua; Memahami peta dan diagram – Kemampuan membaca dan menafsirkan peta, denah bangunan, atau diagram teknis.

Ketiga; Mengenali pola dan bentuk – Memahami pola dalam seni, desain, atau arsitektur. Keempat; Keterampilan dalam permainan spasial – Seperti bermain catur, teka-teki Rubik, atau permainan video berbasis strategi. Kelima; Keterampilan menggambar dan desain – Orang dengan kemampuan visual-spasial yang baik cenderung unggul dalam bidang seni, desain grafis, arsitektur, atau teknik.

Kemampuan Visual-Spasial

Profesi yang Membutuhkan Kemampuan Visual-Spasial, diantaranya, Arsitek, Desainer grafis, Seniman, Insinyur, Pilot, Ahli bedah, Pemain catur profesional dan lainnya. Kemampuan inilah yang menurut Howard Gardner merupakan bagian dari kecerdasan visual-spasial, yang dikategorikan dalam teori kecerdasan majemuk.

Namun pada kenyataan kebiasaan banyak orang, selama ini kita sering terpaku pada IQ. Padahal dalam setiap diri kita ada faktor penting yang harus kita miliki, yaitu kecerdasan emosional atau EQ (emotional quotient). EQ, juga dapat berfungsi untuk melihat atau mengidentifikasi kecerdasan yang yang dimiliki seseorang.

Ilustrasi : Chatgbt
Ilustrasi : Chatgbt

Menurut Daniel Goleman, kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.

Oleh sebab itu, bukan jaminan bahwa, orang yang memiliki IQ tinggi, sudah pasti mempunyai EQ, atau sebaliknya; kepemilikan EQ pada diri seseorang bukan jaminan secara IQ-nya juga mumpuni.

Mungkin dari sisi keilmuannya (IQ), seseorang bisa menemukan sesuatu dari hasil peneltiannya, yang sangat fantastis, yang kemudian membawa si penemu menjadi terkenal secara brand image-nya (citra baik) di mata publik. Namun di sisi lain, orang tersebut belum tentu cerdas secara emosi (EQ).

Misalnya dalam dunia kerja. Ada seseorang yang di bangku perguruan tinggi, sangat rajin belajar, tekun, bahkan di akhir studinya mampu meraih prestasi yang memuaskan (cumlaude). Tetapi setelah keluar dari kampus dan masuk di dunia kerja, yang bersangkutan hanya menjadi karyawan biasa.

Fenomena diatas ini cukup umum terjadi di dunia kerja. Ada beberapa alasan mengapa seseorang yang berprestasi di akademik (cumlaude) tidak selalu langsung menempati posisi tinggi atau sukses besar dalam kariernya:

Kecerdasan Akademik vs. Kecerdasan Praktis

Keberhasilan di dunia akademik sering kali bergantung pada kemampuan menganalisis, menghafal, dan memahami teori. Namun, dunia kerja lebih banyak menuntut keterampilan praktis seperti komunikasi, problem-solving, kerja tim, dan adaptasi terhadap situasi nyata.

Kecerdasan Emosional (EQ) dan Sosial

Kemampuan membangun relasi, berkomunikasi dengan baik, dan memahami dinamika sosial di tempat kerja sering kali lebih menentukan kesuksesan dalam karier.

Jika seseorang hanya mengandalkan keunggulan akademik tanpa kemampuan interpersonal yang baik, ia bisa kalah bersaing dengan rekan kerja yang memiliki networking dan kemampuan sosial yang lebih tinggi.

Kurangnya Pengalaman Praktis

Banyak mahasiswa yang sangat fokus pada akademik, tetapi kurang memiliki pengalaman magang, kerja lapangan, atau keterlibatan dalam organisasi. Di dunia kerja, pengalaman praktis sering kali lebih dihargai daripada nilai akademik semata.

Mindset dan Pola Pikir Stagnan

Beberapa lulusan cumlaude merasa, bahwa prestasi akademik mereka sudah cukup untuk menjamin kesuksesan, sehingga kurang proaktif dalam mengembangkan keterampilan baru, meningkatkan kreativitas, atau mengambil inisiatif dalam pekerjaan.

Perbedaan Sistem Evaluasi

Di dunia akademik, keberhasilan diukur berdasarkan nilai dan IPK. Di dunia kerja, keberhasilan diukur dari kontribusi nyata, inovasi, kepemimpinan, serta bagaimana seseorang bisa memberikan dampak bagi perusahaan.

Pilihan Karier yang Tidak Strategis

Beberapa lulusan cumlaude mungkin memilih jalur karier yang kurang sesuai dengan potensi atau tidak cukup kompetitif dalam mendapatkan promosi dan pertumbuhan profesional.

Ilustrasi : Chargbt

Namun, ini bukan berarti lulusan cumlaude tidak bisa sukses. Mereka tetap memiliki keunggulan dalam hal analisis, kedisiplinan, dan pemahaman mendalam terhadap bidangnya. Jika mereka bisa mengembangkan keterampilan tambahan seperti networking, kepemimpinan, dan adaptasi di dunia kerja, maka peluang untuk naik ke posisi lebih tinggi masih terbuka lebar.

Tetapi ada juga fenomena yang berbanding terbalik. Misalnya ada mahasiswa, yang kuliahnya amburadul, tidak rajin belajar tidak, absennya juga awut-awutan, bahkan di ujung kuliah prestasinya biasa-biasa saja, tidak ada yang dibanggakan lebih dari pada sekadar taat kuliah.

Tetapi ketika masuk di dunia kerja, yang bersangkutan justeru menempati posisi tertinggi di perusahaan. Atau sebagian lain menjadi kepala daerah di sebuah wilayah. Sementara mahasiswa yang cumlaude dan memiliki prestasi memuaskan, berbalik menjadi karyawannya.

Sederhananya, kesuksesan seseorang tidak selalu karena IQ-nya tinggi, atau sebaliknya orang yang secara IQ-nya rendah, tidak punya prestasi akademik yang memuaskan (cumlaude), tidak selalu gagal dalam hidup (tidak sukses).

Sebab dibalik rendahnya IQ, sangat mungkin seseorang memiliki EQ, yang kemudian mengantarkannya pada puncak karir, yang sama sekali diluar dugaan bagi sebagian orang yang mengenal sebelumnya.

Dalam keseharian, seseorang yang memiliki IQ menempati profesi yang sifatnya sangat individual, atau tidak banyak melibatkan banyak orang. Misalnya menjadi peneliti, dosen, dokter dan sejenisnya. Satu profesi yang lebih banyak dilakukan sendiri.

Sementara, seseorang yang secara IQ- rendah tetapi memiliki EQ, banyak yang berada pada posisi pimpinan, minimal level manajer. Bisa bekerjasama dan mampu memberdayakan orang lain.

Mengunggulkan IQ, menjadikan seseorang tidak mudah percaya pada orang lain. Atau lebih ironis bila yang bersangkutan sulit bekerjasama dengan orang lain. Akibatnya, yang bersangkutan menjadi sosok pekerja yang invidulaistik : tidak mudah percaya pada mitra kerjanya dan tidak juga mampu memberdayakan orang sekitar.

Apa masalahnya? Mungkin karena seseorang yang memilki IQ merasa lebih pintar, sehingga dalam menjalankan profesinya tidak memerlukan dan tidak mudah percaya pada orang lain.

Sementara seseorang yang memiliki EQ, lebih fleksibel (lentur) dalam pergaulan, mampu bersosialisasi di semua tingkatan.

Kecerdasan Emosional (EQ) memang berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam mengelola emosi, beradaptasi dalam lingkungan sosial, dan menjalin hubungan dengan berbagai orang di berbagai tingkat sosial.

Bila menukil kembali konsep Kecerdasan Emosional (EQ) dari Daniel Goleman, dalam bukunya Emotional Intelligence (1995), Goleman menjelaskan, EQ mencakup lima aspek utama, yaitu; Kesadaran diri (Self-awareness) – Memahami emosi sendiri. Pengendalian diri (Self-regulation) – Mampu mengontrol emosi dan menyesuaikan diri. Motivasi (Motivation) – Dorongan internal untuk mencapai tujuan. Empati (Empathy) – Memahami dan merasakan perasaan orang lain. Keterampilan sosial (Social skills) – Kemampuan membangun hubungan dan bersosialisasi secara efektif.

Disimpulkan Goleman, orang dengan EQ tinggi lebih fleksibel dalam pergaulan karena mereka bisa memahami emosi orang lain, beradaptasi dengan berbagai situasi sosial, dan bekerja sama dengan berbagai macam orang di semua tingkatan. Jadi, jika seseorang memiliki EQ yang tinggi, ia cenderung sukses dalam membangun hubungan sosial dan profesional.

Mengapa demikian? Kita bisa menilik penjelasan Salovey dan Mayer yang menyatakan, EQ sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan (Yulisubandi, 2009).

Satu kecerdasan lagi yang juga tak kalah pentingnya adalah; Kecerdasan Spritual atau Spiritual Quotient (SQ). Kecerdasan spiritual lebih merupakan konsep yang berhubungan bagaimana seseorang cerdas dalam mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai, dan kualitas-kualitas kehidupan spiritualnya, kehidupan spiritual disini meliputi hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) yang memotivasi kehidupan manusia untuk senantiasa mencari makna hidup (the meaning of life) dan mendambakan hidup bermakna (the meaningfull life). (Lihat : Mujib dan Mudzakir (dalam Safaria, 2007).

Sementara Zohar dan Marshall (2007) mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value (nilai) yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain.

Ilustrasi : Chargbt

Menurutnya, SQ sebagai landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif dan sebagi kecerdasan tertinggi kita. Sedangkan didalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang sepenuhnya (hanif) dan memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik), serta berprinsip hanya karena Allah.

SQ lebih menitikberatkan pada pemaknaan kesadaran diri, untuk menjawab beberapa pertanyaan,  siapa kita? dari mana asalnya kita? dan akan kemana kita kembali? Lantasa apa yang harus kita persiapkan untuk menghadap Allah Swt?

Kultum – KH Taufik Hidayat ketika menyampaikan Kultum jelang buka puasa bersama BPJS Muaraeni, di Hotel Melio Muaraenim, Melio, Kamis 6 Maret 2025, didampingi kepala Cabang BPJS Muaraenim. Foto. Dok. PP Laa Roiba

Munculnya kesadaran SQ–kemudian mendorong seseorang untuk menyeimbangkan dua kecerdasan sebelumnya (IQ dan EQ) yang mewujud dalam perilaku keseharian, sebagai makna nyata dari : khoirunnaas, anfa’uhum linnaas (sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

Seseorang yang sudah memiliki tiga kecerdasan ini secara seimbang, akan membantuk karakter yang bukan saja sadar secara duniawi, tetapi juga sadar secara ukhrowi, menuju hakikat kehambaan yang sejati.

Membangun hubungan baik dengan Allah Swt dan kepada sesamam manusia (hablum-minallah wa hablum-minan-naas) tanpa harus menyakiti satu sama lain, meski berbeda status sosialnya, profesinya, kelaminnya dan  agamanya. **

Pondok La Roiba-Muaraenim, 08-08.2021
Tulisan in disarikan kembali dari Kultum KH Taufik Hidayat, S.Ag, M.I. Kom, menjelang Buka Puasa Puasa di Hotel Melio Muaraenim, yang diselenggarakan BPJS Cabang Muaraenim, Kamis, 7 Maret 2025. (Penyunting Naskah dan Editor Bahasa : Imron Supriyadi)